Dari Kami yang Enggan Untuk Bercerita
Senin, 10 Juni 2019
Edit
"Lalu kepada siapa layaknya mereka bercerita, Orang tua? Teman? Guru? Kekasih? Atau bahkan kepada benda mati?"
Setiap manusia memiliki luka. Mereka
menyembunyikannya dibalik senyum yang mencapai mata atau di balik tulisan yang
jarang dibaca. Ada yang memilih membuka dengan bercerita dan ada yang memilih
memendam segala remuk dan redam di dalam dada.
Baca Juga : Kuy Kenalan dengan Hamiimun
Bercerita tentang luka yang mereka alami, terkadang tidak memberikan solusi dan bahkan menimbulkan masalah baru. Akan ada perasaan takut bagi seseorang untuk bercerita, ketakutan yang mungkin sebenarnya mereka sendiri yang membuatnya atau bahkan ketakutan akan tanggapan dari lingkungan sekitarnya.
Sebenarnya manusia hanya menginginkan
untuk berlabu, hanya sekedar untuk didengar dan tak membutuhkan tanggapan
apapun. Mereka hanya menginginkan anggapan bahwa mereka tidak sekuat itu untuk
menompang kejamnya dunia ini, namun mereka tak ingin direndahkan hanya karena
menceritakan masalahnya.
Lalu kepada siapa
layaknya mereka bercerita, Orang tua? Teman? Guru? Kekasih? Atau bahkan kepada
benda mati?
Mungkin jika mereka membuka dirinya
kepada orang tua mereka atau kepada guru mereka, bahwa mereka depresi. Apa
tanggapan orang tua dan guru mereka? Apakah langsung menceramahinya bahwa ia
kurang beribadah? Ataukah merengkuhnya dan mengakatan bahwa semunya akan
baik-baik saja.
Saat ini aku yakin, sebagian orang
tua yang ada di muka bumi ini tak tahu dengan baik segala hal tentang anaknya.
Apakah para orang tua mampu menebak apa yang ada di kepala anaknya? Apakah
mereka tahu arti tatapan mata anaknya? Penuh binar, ingin menceritakan hari
yang ia jalani, ataukah mereka berlalu, tak menghiraukan, dan matanya tak
sanggup bertemu?
Jika orang tua dan guru mereka tak
memahami mereka sedikitpun, kemana mereka akan pergi? Kepada temannya? Atau
kekasihnya?
Saat ini, aku pula begitu meyakini
bahwa banyak remaja yang lebih menyukai bercerita dengan teman sebayanya
dibandingkan dengan orang tua ataupun guru mereka. Namun, ada hal yang
membuatnya trauma, yaitu lagi dan lagi tentang tanggapan mereka. Mulai dari
menghakimi hingga membandingkan luka yang mereka miliki.
Untuk orang tua, sesekali minta
anakmu untuk bercerita atau bertanya tentang apa yang mereka lakukan hari ini.
Jadi teman yang baik untuk anakmu, tempat yang bisa mereka percaya untuk
berbagi segala keluh dan kesah. Bukan menjadi orang tua yang menuntut ini dan
itu.
Dan untuk remaja yang merasa dirinya
dewasa, merasa dirinya mampu mendengar kegelisahan temannya, merasa dirinya
mampu dipercaya dan merasa dirinya mampu menanggung luka temannya. Perhatikan
baik-baik segala tindakan dan perkataanmu, jangan membuatnya semakin terpuruk
dan menderita.
Maka ketika mereka yang sedang
menderita datang dan bercerita, sambutlah dengan suka cita dan kehangatan tiada
tara. Tanpa membandingkan, tanpa menghakimi, dan tanpa meremehkan. Tiap
individu memiliki batas kekuatan mereka menahan luka, kau pun begitu.
Karena luka memiliki banyak wajah.
Luka memiliki banyak cerita. Tetapi luka tak pantas untuk dibandingkan. Sebab
mereka datang kepada individu yang memiliki keistimewaan masing-masing. Mereka
ada, di balik dada tiap-tiap manusia.
Jadilah pribadi yang terbuka, siap
menerima cerita orang-orang yang menderita, putus asa, dan berduka. Jadilah
pribadi yang senantiasa menguatkan dan mendoakan, bukan meremehkan atau
membandingkan.
By. Kara