Aku Sang Pembunuh
Rabu, 12 Juni 2019
Edit
"Ada kemungkinan pengadilan di negeri ini hanyalah sebuah kepalsuan yang mengutungkan tikus rakus dan membuang sebagian yang lain."
Kami adalah generasi muda untuk bangsa yang katanya telah merdeka. Kami bebas memilih dengan cara apa membangun negeri ini. Bahkan, kami bebas untuk membunuh. Pembunuhan berlangsung setiap hari. Disadari atau tidak. Kami hanya anak-anak ingusan yang punya mimpi dan pembunuhan adalah tontonan kami secara rutin di negeri ini.
Baca Juga : Bukan Maksudku Ingin Meng-kambinghitam-kan SNMPTN
Kata Cito, pembunuhan itu ada dampak positifnya. Tapi menurut kami, pembunuhan itu hanya memuaskan nafsu mereka dan meyisakan kesedihan bagi yang lain. Itu dua hal yang tidak postif.
Tapi Cito punya sudut pandang yang unik. Dari adanya pembunuhan, maka akan ada pekerja yang bekerja. Akan ada keluarga yang dinafkahi. Akan ada anak dapat berpendidikan dan pendidikan itu penting. Allah selalu adil.
Kami pun bertanya, di bumi juga ada pengadilan, lalu apakah manusia adil? Sudut pandangnya mengatakan bahwa seadil-adilnya pengadilan itu adalah pengadilan Allah. Jadi, ada kemungkinan pengadilan di negeri ini hanyalah sebuah kepalsuan yang mengutungkan tikus rakus dan membuang sebagian yang lain.
Contohnya, kalau ada 10 orang, di mana 9 orang itu jahat dan 1 orang baik. Maka, 1 orang yang baik itu akan dinyatakan sebagai orang yang jahat atau penjahat. Begitulah gambaran sistem yang ada di negeri kami.
Tapi Cito berkata, lihat positifnya. Pengadilan itu wadah menegakkan keadilan dalam negeri. Butuh pekerja. Mengurangi pengangguran. Memerdekakan sebagian.
Jadi, jangan dibutakan sama hal negatif. Justru hal negatif kadang membuat kami tidak berani memilih hidup sebab semua pilihan ada dampak negatifnya. Kami juga seorang pembunuh. Kami membunuh hati kami. Membunuh orang-orang lemah. Mengambil hartanya. Harta yang tidak seberapa. Toh kami hidup di bawah kolong jembatan. Jarang bertemu orang besar. Tidak peduli cara apapun. Kami ingin bahagia.
Kami sadar. Tidak akan selalu bersama. Kematian memang tidak bisa dielakkan.
Kami yang kini menjadi Aku, tetap melanjutkan hidup. Membunuh itu pekerjaanku. Tapi, aku berbeda. Aku tidak sama dengan para pembunuh bayaran. Aku adalah pembunuh sebenarnya. Tapi, aku tidak bisa tertawa jahat. Mengapa?
Baca Juga : Sebuah Sudut Pandang tentang Sastra
Bagiku senyumanku berarti bagi sebagian yang lain dan tertawa jahat merusak kebahagiaan sebagian yang lain. Aku memang pembunuh. Bedanya, dulu aku bersama kawan meilhat pembunuhan lalu membunuh orang-orang, meniadakan mereka untuk menghidupkan yang lain. Ini negara tapi seperti hutan. Di mana yang berkuasalah yang menang. Berkuasa itu bisa perihal kekuatan atau kecerdasan. Sekarang aku memang pembunuh.
Aku membunuh rasa malu untuk bertanya apa itu pendidikan. Sehingga berkat pria yang Allah berikan kepadaku, aku memulai pendidikan yang tak kukenal sebelumnya.
Aku yang membunuh istri pria tersebut dan mengambil buku kecil beserta dompet milik wanita itu. Aku telah merengut kebahagiaan pria dewasa. Aku adalah anak yang tak punya hati kala itu. Tetapi, pria itu sangat baik. Aku dibuatnya mengenal Tuhan dan bukan penjara. Aku bahkan tak tau bagaimana kawan-kawanku itu.
Maksudku, aku tidak tahu rasanya di penjara. Tapi, pria itu membawaku ke tempat lain. Aku sangat bersyukur kakiku luka sehingga tak dapat kabur dari pria itu. Pria itu menangis sambil tersenyum melihat aku yang terjatuh sambil memeluk buku milik istrinya sedangkan dompet istrinya terlempar.
Singkat cerita pria itu mengangkatku menjadi anaknya. Aku membunuh rasa malas dan belajar menjadi generasi muda yang dibutuhkan negeri ini. Aku membunuh rasa iri untuk mempertahankan pertemanan.
Aku membunuh semua sifat buruk dalam diriku. Kata Cito, semua orang berhak berubah menjadi lebih baik dan berhak mendapatkan ampunan dari Tuhan.
Pada hakikatnya, Allah yang membunuh semua sifat buruk dalam diriku. Allah menolongku dari kekejaman dunia yang nyata. Aku buta dari ayat-Nya. Aku tuli tak mendengar ayat-Nya. Aku bisu tak membaca surat cinta dari-Nya.
Baca Juga : Dari Kami yang Enggan untuk Bercerita
Kini sudah tidak lagi. Walaupun aku memilih menjadi pembunuh. Aku telah berhasil membunuh kebutaan, ketulian, dan kebisuan di dalam keluarga kecilku tentang betapa indahnya agama yang telah menuntun jalan hidup ini.
Andai aku lebih dekat dengan buku itu sejak dulu. Mungkin aku tak akan menjadi pembunuh yang handal seperti saat ini. Buku kecil kala itu bertulisankan Al-qur’an dan profesiku saat ini dokter. Aku tetap seorang pembunuh. Pembunuh yang lebih andal. Membunuh kuman dan bakteri di dalam tubuh manusia.
“Tidak usah berandai jika masih bisa bersyukur”
-Cito-
Banner from wattpad