Utang Indonesia kepada Para Pelacur

Gambar cewek dengan senyum palsu

Bisa jadi mereka memang melacur, tetapi yang dilacuri hanyalah badannya, tubuhnya, sedangkan hati dan jiwanya tetap terjaga untuk-Nya
Jumat. Ketika khotib sedang asik bicara di mimbarnya, piranku melayang jauh ke remang-remang Jakarta.

Tiba-tiba terpikir akan para pelacur ibu kota, Jakarta. Merenungi mereka yang bertahan hidup sebagai pelacur.

Memikirkan pelacur saat khotib naik mimbar− eemm..boleh juga, toh lagian besok juga khotib lupa dengan apa yang disampaikannya. Kalau ingat alhamdulillah  kalau lupa sudah biasa..

Baca Juga : Bukan Maksudku Ingin Meng-kambinghitam-kan SNMPTN 

Kira-kira isi renungannya gini:

Betapa bangsa kita ini sangat berutang kepada para pelacur, pelacur dalam negeri, pelacur ibu kota dan pelacur kota-kota lainnya. Pokoknya seluruh pelacur yang ada. Seharusnya kita berterimakasih kepada mereka.

Bayangkan, seandainya para pelacur itu menaikkan tarif mereka 5X lipat atau jika mereka, pelacur-pelacur ibu kota bersatu kompak mogok melacur siapa yang akan melayani nafsu lelaki hidung belang?

Tentu perempuan-perempuan kita yang akan menjadi korban. Istri-istri kita. Bisa jadi istri tetangganya. Bisa jadi istri saudaranya.

Karena lelaki dari dulu penyakitnya, kalau udah dapat harta ditambah tahta ya ujung-ujungnya wanita juga.

Kita akan kelabakan dan puyeng seandainya pelacur mogok melacur. Lelaki hidung belang akan berzina dengan perempuan-perempuan kita. Suami-suami akan gila dibuatnya.

Gambar cewek sedih

Itu baru dari ibu kota, belum kota lainnya. Boleh jadi setiap perempuan yang ditemuiya akan diajaknya 'berkencan' dengan berbagai iming-iming dan paksaan.

Baca Juga : Kenangan Lama

Sekali lagi. Coba bayangkan seandainya para pelacur mogok melacur apa yang akan terjadi. Gila! Ngeri!

Baik laki-laki maupun perempuan yang ada di negeri ini tanpa terkecuali tanpa kalian sadari, kita ini berutang pada pelacur.

Jadi, jangan merasa bahwa kita lebih suci dari mereka. Bisa jadi mereka memang melacur, tetapi yang dilacuri hanyalah badannya, tubuhnya, sedangkan hati dan jiwanya tetap terjaga untuk-Nya.

Jauh dilubuk hatinya yang terdalam sebenarnya mereka ingin lepas dari belenggu dunianya, namun apa daya, begitulah cara mereka bertahan hidup, begitulah cara mereka memberi makan anak-anaknya, begitulah cara mereka membiayai sekolah anak mereka agar tidak jadi seperti mereka.

Bahkan ada dari hasil melacurnya digunakan untuk membiayai anaknya di pesantren yang lagi hafalin Alquran.

Jangan remehkan yang remang-remang.

Atau kita yang merasa sudah berada di jalan benar, adakalanya badan beribadah, solat, tadarus, tetapi hati dan jiwanya entah ke mana.

Kayak saya sendiri, raganya di masjid depan khotib, pikirannya di remang-remang Jakarta. Khawatir aja ketemu khotib di remang-remang, ntar sama-sama terkejoet (dibaca: terkejut) .. hehe .. Lho bapak khotib ada di sini toh?

Lalu siapa sebenarnya yang melacur?

Apakah Dia hanya untuk orang-orang masjid, kalangan pesantren, kalangan berserban, kalangan bergamis yang rapih-rapih, perempuan-perempuan berhijab bak bidadari?

Apakah di remang-remang Jakarta dan pinggiran kota lainnya tak berhak untuk mendapat sentuhan kasih sayang-Nya?

Mari kita renungkan. Apakah kita memang pantas mendapat sapaan dari-Nya dengan merendahkan hamba-Nya yang lain?

Dulu pada zaman Presiden Sukarno, beliau bahkan ingin memperkerjakan pelacur sebagai mata-mata, sebagai intel, tetapi tak disetujui oleh menteri Ali.

Sukarno beralasan bahwa pelacur adalah kawan yang setia dan dapat diandalkan, mereka dapat menjadi intel yang sangat baik dan bekerja dengan apik dan rapih, mengetahui siapa yang membelot siapa yang tulus setia. Sedangkan menteri Ali menampik dengan alasan moral.

Benar juga, kalau pelacurnya dari kalangan mewah tentu banyak pelanggannya dari kalangan pejabat, kalangan elit, kalangan real estat pula.

Mereka pasti tau siapa-siapa langganannya. Mestinya KPK berafiliasi saja dengan para pelacur agar lebih mudah berburu mangsa .. hehe

Baca Juga : Selamat Datang Teman Musiman 

Roda ekonomi bangsa kita berputar di selangkangan-selangkangan mereka (maaf nih bahasanya :v).

Bagus dengan adanya pelacur. Pelanggannya para koruptor. Uang yang tersumbat di kantong-kantong jadi keluar untuk membayar pelacur.

Pelacur beli barang-barang untuk komoditas menarik pelanggan. Pengusaha barang mencari bahan dagangan di pabrik-pabrik.

Pabrik memperkerjakan pengangguran. Pengangguran bisa makan. Yang beli makan bayar pajak. Yang nerima pajak dibawa ke remang-remang.

Begitu seterusnya. Roda ekonomi berputar di selangkangan-selangkangan mereka.

Oleh sebab itu, bangsa ini seluruhnya baik lelaki maupun wanitanya berutang kepada pelacur.

Kalian yang merasa dekat dengan Tuhan dan yakin bahwa Tuhan itu dekat, tetapi meneriaki-Nya Allahhuakbar dengan pengeras suara jangan merasa lebih suci dari mereka yang melacur.

Jaga mereka atas nama kemanusiaan. Mereka juga sama bekerja untuk bertahan hidup. Gelar ustadz juga sekarang jadi profesi bukan lagi sebuah amanah.

***

Tak terasa tiba-tiba khotib berucap, Allahummagfir! Dan anak-anak sontak menyambut berteriak.. Aaamiin!!

Pikiranku kembali ke dalam masjid setelah asik bertamasya di remang-remang Jakarta.

Catatan: kata-kata kasar hanya akan diterima kasar oleh hati yang kasar.
Periksa hatimu apakah muncul dendam di dalamnya? Inilah saatnya berbenah, perbaiki cara Islammu.

-Daeng

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel